Cerita Dongeng asal usul klan sungkai

Toples Tropis - Pada zaman yang telah berlalu, sekitar abad ke-13, terangkatlah jejak silsilah Klan Sungkai Bunga Mayang yang tersembunyi.

Cerita Dongeng asal usul klan sungkai
Cerita Dongeng asal usul klan sungkai


Pada masa lalu, kira-kira pada tahun 1200-an, terdapat sebuah kedatuan yang bernama Pagar Ruyung. Namun, perlu ditegaskan bahwa ini berbeda dengan Pagar Ruyung yang lebih dikenal di Padang. Kali ini, kita merujuk pada Pagar Ruyung yang terletak di Negeri Ujung Karang, Bengkulu Tengah. Kisah historis Sungkai Bunga Mayang dalam Versi Buay Perja/Kedatuan diawali oleh pemerintahan seorang raja bijaksana bernama Ratu Iskandar Alam I. Ia memiliki seorang putri bernama Dayang Halinu.

Dayang Halinu kemudian menikah dengan Raja Luwu dari Gowa, Sulawesi Selatan, yang bernama Sawerigading dengan gelar Batin Nimbau (Sawerigading bin Batara Latu bin Batara Guru). Pasangan tersebut dianugerahi seorang putra bernama Laga Ligo Ratu Anom Iskandar Alam dengan gelar Sindang Belawan. Kemudian, Laga Ligo menikah dengan Putri Silimayang, anak dari Raja Tunak Pak Puluh di Sukadana, Kerinci, Jambi. Silimayang memiliki seorang adik laki-laki bernama Harayap, yang ibunya berasal dari China, sementara ibu Harayap berasal dari India.

Laga Ligo dan Putri Silimayang memiliki tiga putra yang menonjol, yakni Indor Gajah, Lembasi/Selembasi, dan Serja/Perja, yang masing-masing hidup di tempat yang berbeda. Selain ketiga putra tersebut, Laga Ligo juga memiliki saudara tiri dari pernikahannya dengan Sigili Gili, yakni Putri Silawangwang.

Kisah berlanjut pada sekitar abad ke-15-an, di mana Tuan Judan Atas Angin, cucu Serja/Perja, menikahi Selamayang, anak dari Minak Tridiso, dari Buay/Keluarga Nunyai Klan Abung Siwo Migo di Cangguk Ghatcak.

Pada tahun 1520, dua tokoh penting tiba di wilayah tersebut. Dibintang, yang berasal dari Komering, mendirikan perkampungan di Sungkai dan menamainya Bandar Agung. Sementara itu, Maulana Hasanudin dari Banten, menjadi saudara angkat Pangeran Sakti/Adipati Urabumi (Tuan Ujud Demak, anak Minak Mramaya) dan mendapatkan gelar Batin Sehidi.

Kemudian, pada tahun 1810, keluarga-keluarga dari Komering, Liwa, dan Way Kanan berkeinginan untuk bergabung dengan klan Sungkai Bunga Mayang. Akibatnya, terbentuklah 7 keluarga besar yang bersatu, yaitu Buay Harayap, Buay Indor Gajah, Buay Lembasi/Selembasi, Buay Kemala Helau, Buay Semengguk, Buay Dibintang, dan Buay Perja.

Puncak kebersamaan terjadi pada tahun 1834, saat sebuah acara besar dan pemotongan 60 ekor kerbau diadakan di Negeri Ujung Karang (Sungkai Bunga Mayang). Setelah peristiwa tersebut, semua keluarga bersatu dalam klan Sungkai Bunga Mayang, dan hingga saat ini, ketujuh keluarga tersebut, yakni Pitu Kebuayan Pak Mangsa Muari Sai Tellu Hina, dengan bangga menyimpan dan merawat jejak silsilah mereka.

Sebutan "Sungkai Bunga Mayang" sendiri berasal dari "Silimayang," yang memiliki arti "putri rambut panjang seperti kembang pinang" dalam bahasa Jawa.